Jumat, 25 Februari 2011

Kelas Baca

Bagaimana Memilih Penerbit
Banyak orang telah memiliki naskah tulisan yang telah siap dicetak, tapi tidak tahu akan dikirimkan ke penerbit mana.
Kirim komentar | Baca komentar | Arsip

Bagaimana Memilih Penerbit

Banyak orang telah memiliki naskah tulisan yang telah siap dicetak, tapi tidak tahu akan dikirimkan ke penerbit mana. Penulis juga tak memiliki cukup informasi tentang aturan main dalam dunia penerbitan. Berikut ini beberapa tips memilih penerbit:

1. Kenali penerbit yang dituju, berikut divisi-divisi mereka, pastikan karya yang kita kirimkan sesuai dengan karakter divisi penerbit tersebut.

2. Cari data tentang penerbit-penerbit sejenis, semakin banyak, semakin banyak pilihan pula bagi kita.

3. Kenali produk yang telah mereka luncurkan, sosok bukunya. Kenali kemampuan penetrasi pasar (lihat buku-buku yang telah diterbitkan, sudah berapa kali cetak ulang dan sebagainya, ini cuma satu indikasi). Kenali profesionalitas mereka, cari info dari yang telah menulis di sana lebih dulu, untuk mengetahui seberapa jauh penerbit tersebut menghargai karya penulis-penulisnya, dan menunaikan hak royalti dengan baik, kenali pula standar royalti di sana.

4. Kenali keinginan kita tentang buku yang nanti diterbitkan (konsep, ukuran, desain dan seterusnya), kombinasikan dengan profesionalitas penerbit tersebut.

5. Buatlah prioritas 1-10 penerbit yang kita inginkan. Kirimkan naskah kita pertama-tama ke penerbit yang kita anggap paling cocok menerbitkan buku-buku kita.

6. Kirimkan naskah dalam bentuk disket dan hard copy, juga dalam bentuk email. Kalau kita menginginkan naskah dikembalikan apabila tidak dimuat, kirimkan juga sebuah amplop kosong yang bertuliskan nama kita dan alamat dan sudah dibubuhi perangko, hingga tidak merepotkan penerbit.

7. Sertakan juga biodata dan kalau ada keterangan tentang karya-karya yang telah dimuat di media mana saja. Sertakan sinopsis cerita, sertakan pula karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Ini akan memudahkan ilustrator nantinya.

8. Rajinlah mengontak penerbit yang bersangkutan, apakah naskah kita sudah mereka terima, tanyakan pula kira-kira berapa lama kita harus menunggu. Kalau mereka tidak punya jawaban mungkin kita bisa memberikan alternatif (3 bulan? 6 bulan? 12 bulan? Tentu disesuaikan dengan posisi bargaining power kita. Kalau baru pertama kali, mungkin jangan langsung menggetok penerbit dengan hanya memberi waktu 3 bulan). Untuk diketahui, biasanya penerbit perlu waktu 2-3 bulan untuk menerbitkan sebuah buku.

9. Meskipun itu buku pertama kita, tidak berarti penulis tak berhak untuk memberikan usul-usul atau meminta beberapa terms, selama wajar. Misal minta gambaran sampul buku, minta bisa mengintip duluan soal sinopsis yang mereka buat, tanya apakah boleh memberi alternatif dari kita sendiri?
Suspens di Balik Kepingan Salju

Peraih Hadiah Nobel Sastra 2006, Ferit Orhan Pamuk, kembali meramu gagasan besar tentang peradaban Barat dan Timur yang berakar di Turki dengan karakter yang khas dalam novel Snow, di Balik Keheningan Salju. Ia merajut pertemuan Timur (Islam) dan Barat (Kristen) yang telah menciptakan kekeruhan di Turki, khususnya di awal abad ke-20, ketika Dinasti Ottoman mengalami kehancuran dan sekaligus menjadi titik tolak munculnya Turki modern di bawah kawalan Musthafa Kemal Attaturk.

Komposisi Snow terasa ringan dan segar, namun tetap penuh intrik dengan lilitan elemen thriller yang sengaja diciptakan “penuh pertanyaan”, yang bermuara ke persoalan serius tentang aliran, falsafah hidup, ideologi negara, peradaban, dan agama. Hal-hal ini mengingatkan kita kepada novel yang jauh lebih fantastik, yaitu My Name is Red, yang telah memikat audiens internasional.

Dalam Snow ada kristal salju yang merekam semua peristiwa yang dituturkan Pamuk. Uniknya, di tangan Pamuk, salju bukan sekadar salju. Salju menjadi bernuansa lain. Ia seperti ruh yang ikut mengalir di balik konflik tajam dan ketika nuansa romantis sekalipun.

Seperti halnya dalam My Name is Red, dalam Snow Pamuk mencoba mendialogkan peradaban Barat dan Timur dengan segala kompleksitas persoalannya, yang acap menjadi pemicu konflik global hingga kini, demi menggapai sinergi. Gagasan ini, menurut kritikus Margaret Atwood, menjadikan Pamuk sebagai penulis spesialis peradaban Barat-Timur yang sangat penting di abad ini. Pamuk mampu mengolah persoalan Turki dengan karakter kuat melalui jamuan thriller, cinta yang hampa, harapan yang semu, dan kegamangan posisi pemerintah dengan spirit peradaban universal dan humanisme yang kuat.

Pamuk begitu risih terhadap sebutan identitas yang menciptakan diskriminasi, seperti “aku orang Azeri”, “aku orang Kurdi”, dan “aku orang Terekemi” (hlm. 46). Ia mencoba konsep berkesenian yang melebur semesta, dengan merentangkan jembatan dialog dan transformasi pemahaman. Ia ingin sekali melebur sekat-sekat dikotomis-eketrem itu. Alasannya, ”hatiku yang bimbang mendamba Barat ketika aku berada di Timur dan mendamba Timur ketika aku di Barat... aku ingin menjadi Timur sekaligus Barat” (My Name is Red, 2006; hlm. 620).

Secara ide, My Name is Red dan Snow seperti sebuah sekuel yang saling bertalian dan menyambungkan benang-benang kusut yang sengaja disulam terputus di novel terdahulu dan dirajut secara lebih terang melalui novel yang belakangan. Konteks latar pun sama: Turki yang mengalami tekanan perubahan di tengah arus modernisasi antara Asia dan Eropa, yang memaksa negara itu menerimanya meski pada gilirannya harus mengalami keterpecahan antara Ankara dan Istanbul. Pamuk kreatif menyajikan apa yang dimilikinya. Meskipun diangkat dengan latar dan simbol Turki, gagasan peradaban yang ia ramu bisa menjadi cermin bagi dunia global, khususnya bagi dunia Islam abad ini.

Di sini salju menjadi simbol eksotisme, dan yang utama mengiringi jalinan peristiwa demi peristiwa. Si bintang baru yang terbit dari timur, demikian pujian The New York Times, memulai kisahnya dari seorang pria bernama Kerim Alakusoglu (nama inisialnya Ka), jurnalis sekaligus penyair. Pada awalnya Ka datang dari Frankfrut di kota kelahirannya, Kars, untuk meliput suksesi pemilihan wali kota dan sekaligus menyelediki tragedi bunuh diri yang semakin marak dilakukan oleh gadis-gadis Kars. Setelah dua belas tahun sebagai eksil di Jerman, Ka menjumpai Kars jauh berubah dari masa lalunya: kumuh, miskin, pengangguran tinggi, depresi karena banyak kekerasan (hlm. 25).

Ditemani Serdar Bey, seorang pengelola harian di kota itu, Ka menggali informasi lebih lanjut tentang situasi politik dan kasus bunuh diri para gadis. Seperti kasus bunuh diri yang terjadi pada Telime, gadis siswi madrasah aliyah (sekolah Islam setara SMU). Kasus ini menyita perhatian Ka karena gadis itu berjilbab dan taat agama. Ternyata, pada suatu kala setelah berwudlu dan melakukan salat, Telime membentangkan jilbabnya ke atap dan gantung diri.

Kehadiran Ka di tengah gejolak Kars menjadi lebih runyam, khususnya setelah ia --dengan mata telanjang --melihat penembakan oleh seorang yang belum jelas identitasnya terhadap Direktur Pendidikan kota itu. Penembakan terjadi di sebuah bar bernama Toko Kue Hidup Baru, ketika Ka bersama dengan Ipek, pacarnya di masa lalu yang kini menjadi janda dari Muhtar, calon wali kota Kars. Aksi penembakan merebak ke tengah kota. Posisi Ka dan Ipek pun menjadi kunci bagi penyidikan pihak militer. Di saat inilah Ka harus terlibat dengan simpang siurnya kabar dan kekacauan demi kekacauan. Di tengah kerunyaman itu pula benih cintanya kepada Ipek tumbuh perlahan, dan bahkan Ka bulat ingin mempersunting dan memboyong Ipek untuk hidup bersama di Frankfrut.

Dengan berjalannya penyidikan, aksi pembunuhan pun terkuak. Direktur Pendidikan yang naas itu dibunuh oleh militan Islam yang gencar menolak kebijakan pelarangan memakai jilbab di madrasah aliyah. Pada waktu itu, terjadi keputusan di parlemen, yang mayoritas dikuasai kalangan sekuler, bahwa di sekolah dilarang memakai simbol agama, termasuk jilbab. Semua orang tua pun resah oleh keputusan ekstrem dari negara. Tak ada cara selain menyuruh anak gadis mereka mecopot jilbab demi memperoleh pendidikan. Bersamaan dengan itu pula kasus bunuh diri semakin signifikan dari kalangan anak-anak gadis.

Kasus pembunuhan itu bagai bola salju yang menggelinding kencang dan menjadi pemantik pembunuhan berikutnya yang melibatkan banyak orang, dari berbagai aliran dan paham. Di tengah situasi itu, semua elemen dimanfaatkan demi mencari menang antara militan Islam dan pihak skuler. Yang paling tragis, kegiatan kesenian seperti kelompok Teater Nasional pimpinan Sunny pun ikut menjadi tunggangan politik dan perang dingin kepentingan. Ironisnya, pemeran teater yang menjadi tunggangan pihak sekuler adalah Kadife, adik Ipek yang dikenal taat beragama. Dalam satu perannya, ia mencopot jilbab kemudian membakarnya di depan tatapan ribuan pasang mata di gedung Teater Nasional. Keberanian Kadife ternyata hanya karena cintanya kepada Lazuardi, yang berada dalam sekapan para penculik --keberanian yang tetap saja tak menolong Lazuardi, yang akhirnya terbunuh.

Pembunuhan tak selesai di situ. Kisah kian mencekam ketika intaian maut sampai ke tubuh Ka, setelah dia pulang dan beberapa bulan tinggal di Frankfrut bersama Ipek. Pembunuhnya dibiarkan menggantung oleh Pamuk. Tak ada yang yakin siapa yang melakukan semua itu. Siapa sebenarnya yang membunuh Direktur Pendidikan? Benarkah Ka berkhianat kepada Ipek dan Lazuardi? Siapa yang membunuh Ka?

Salju pelan-pelan lebur bersama air mata Pamuk, sebagai pencerita ulung yang tiba-tiba menyusup seolah menjadi tokoh. Pamuk seperti masuk ke tokoh Ka, kadang juga menyusup ke diri tokoh yang lain. Semua itu dilakukan dengan sangat cantik dan cerdik. Semua peristiwa berdarah dalam novel ini mengkristal, menjadi Salju, sebuah puisi gubahan Ka yang berisi catatan penting petualangannya di Kars.
Bernando J. Sujibto
Makna Kota dalam Memoar Orhan Pamuk

Kota harus dimaknai secara komprehensif, bukan hanya sebagai arena kontestasi ekonomi-politik semata yang ujung-ujungnya berkubang kepada persoalan materi dan ukuran kelas-kelas kekayaan. Demi ”keselamatan” kota itu sendiri, kota harus menjadi tempat yang nyaman bagi penduduknya dan memikat orang-orang di luar dirinya.

Kota adalah ruang (space) materi sekaligus nonmateri bagi orang-orang yang menghuni di dalamnya. Ia bukan hanya seperangkat benda-benda (ornaments) dan properti-properti yang menandai kebudayaan serta geliat peradaban suatu tempat. Namun, kota juga merupakan suatu lanskap bagi imajinasi para penghuninya. Yaitu tempat di mana manusia di dalamnya bebas bermimpi tentang nuansa sebuah kota. Nuansa yang terbayang dari serangkaian peristiwa sejarah yang telah melekat dengannya. Sebuah kota juga tidak bisa dipisahkan dari emosi sejarah dan peradaban bangsanya pada masa lalu.



Tentang pergulatan dan makna sebuah kota, Orhan Pamuk melalui memoar Istanbul: Kenangan Sebuah Kota menyajikan kepada kita dengan sangat menawan. Makna kota di tangan Pamuk sebagai seorang penulis jelas berbeda pendekatannya dibandingkan dengan seorang pelukis, pebisnis, ataupun arsitek. Namun yang pasti, Pamuk menyerukan hampir di semua isi memoar bahwa sebuah kota harus diziarahi hingga ke detail akar sejarahnya, bahkan sampai ke denyutnya yang paling dalam. Melalui pergulatannya yang dalam itu pula, dengan yakin Pamuk mencamkan bahwa ”I have described Istanbul when describing myself and described myself when describing Istanbul”. Pamuk dan kota Istanbul telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kemurungan Kota

Itulah deskripsi Istanbul di tangan Pamuk. Istanbul bukan hanya prasasti atau bangunan-bangunan tua bekas Khalifah Utsmaniyah ataupun konstruksi modern ala Eropa yang bisa disaksikan sekarang. Namun, ada sesuatu di balik semua itu, yaitu kemurungan atau kemuraman (huzun). Di tengah ketegaran dan eksotisme Turki modern saat ini, kemurungan tetap terbayang di Istanbul. Karena itu, Pamuk mengkritik keras penulis-penulis Barat yang hanya memuja-muja Istanbul sebagai kota elegan dan eksotis (hal 362) tanpa menelisik kemuraman yang sudah berabad tertimbun di dalamnya.

Padahal, sejak Turki mengalami fase peralihan dari Khalifah Utsmaniyah (Ottoman) ke Turki Modern di bawah kepemimpinan Musthafa Kemal Attaturk pada tahun 1924, sejarah ”terbelah” antara Timur (Islam) dan Barat (Eropa). Pembelahan terjadi baik secara agama, budaya, ekonomi, maupun politik. Mulai era inilah Turki menjadi sebuah negara dan Istanbul sebagai pusat perlintasan Barat.

Namun, keduanya gamang menatap masa depan. Berada pada pilihan untuk tetap merangkul kokoh tradisi khalifah atau berpaling ke Eropa sebagai lanskap peradaban baru Turki masa kini. Sejak fase itu Turki bergulat dengan masa depannya yang melankolik. Pergulatan ini ditangkap oleh Pamuk melalui riset khusus yang kemudian dituangkan ke dalam memoar ini.

Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra tahun 2006, memang sudah tidak asing bagi pencinta novel di Indonesia. Novelis ini begitu yakin bahwa kemuraman tidak akan pernah terhapus dari ingatan penduduk Istanbul khususnya dan Turki pada umumnya. Kata itu telah menjadi roh dan emosi bagi kota kelahiran yang telah membesarkan dirinya. Pamuk dengan sangat bijak mencoba membangunkan dan menghidupkan kembali memori kolektif bangsanya agar melek terhadap sejarah melankolia Istanbul sebenarnya.

Memori kolektif sendiri pada awalnya berkembang dalam kajian sastra terutama bagi Jean-Paul Sartre dengan istilah ”engaged literature” (Perancis: littĂ©rature engagĂ©e). Kini berkembang hingga ke persoalan kebangsaan. Menurut Sartre: ”seseorang hanya dapat dikatakan ada jika dia memiliki kesadaran untuk terlibat dalam (sejarah) masalah masyarakatnya”. Memori kolektif adalah langkah penting menuju penerimaan diri sendiri dan orang lain.

Sisi lain, Yvette Johnson, seorang peneliti sejarah etnik Afro-Jerman, mengatakan bahwa kesadaran akan asal-usul dan nenek moyang merupakan dasar bagi eksistensi sebuah komunal masyarakat. Agar etnik Afro-Jerman tetap eksis dan memiliki masa depan baik, demikian Yvette, mereka membutuhkan masa lampau, yaitu sebuah kesadaran historis. ”Mereka perlu mengingat narasi hitamnya dalam sejarah bangsa Jerman,” ungkap Yvette.

Dengan demikian, kesadaran sejarah akan melahirkan memori kolektif yang kuat. Dalam pandangan Adorno, ingatan kolektif akan penderitaan justru merupakan sebuah keharusan imperatif. Karena di saat seperti itulah, kesadaran dan spirit perjuangan yang diajarkan oleh masa silam sejarahnya semakin menemukan posisi. Dan Pamuk, melalui buku terbaru ini, menyajikan ingatan publik tentang Istanbul maupun orang-orangnya di masa silam, kini, sekaligus juga proyeksi masa depannya.

Demi menghidupkan kembali memori kolektif, Pamuk menuliskan ornamen kota, lanskap, bangunan tua, pelabuhan, sungai, lorong-lorong bisu dengan mitos, sejarah, bahkan kisah asmara. Tidak hanya cukup sampai di situ, sengketa dan tragedi kehidupan berdarah serta misteri-misteri runyam lainnya ia paparkan.
Dalam buku ini, sejak awal Pamuk menyinggung tentang kemiskinan dan masyarakat tersisih di pinggiran Istanbul. Sebagaimana pengakuannya, ”Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan” (hal 7). Lanskap kemiskinan dengan penduduk yang kumuh itu diracik sedemikian memukau oleh Pamuk sehingga pembaca dapat merasakan kemuraman Istanbul masa silam.
Bernando J. Sujibto
Mendulang Bangsa yang Hilang

Siapa pun akan bergeming jika menyaksikan banyak bangsa harus lenyap tanpa menyisakan warisan sejarah. Bangsa yang lenyap itu, secara arif, harus diakui keberadaannya dan dihormati sebagai bagian dari proses peradaban manusia.

Keyakinan ini menancap di dada Milorad Pavic, profesor sejarah kesusastraan Universitas Beograd yang juga merupakan salah satu penyair kenamaan Yugoslavia. Pavic membuktikan diri dengan menuliskan ini. Baginya, apa yang ia rangkai ini sebagai upaya menghadirkan kembali memori masa silam sebuah bangsa, yaitu bangsa Khazar. Ia mencoba menelusuri berbagai sumber dan gelombang perseteruan bangsa itu. Meski karya fiksi, novel ini tetap menjadi penjentik ingatan kolektif kita pada sebuah bangsa yang sempat mempunyai peradaban gemilang pada masanya.


Tidak bisa dimungkiri, sejarah telah mencatat dengan tinta merah tentang bangsa-bangsa yang lenyap tanpa jejak. Bisa disebutkan beberapa bangsa yang senasib dengan Khazar, seperti Inca (1438-1533) di Peru dan Aztek di Meksiko sekitar abad ke-12. Juga Mohenjodaro, Harappa, dan Arya yang hidup di lembah Sungai Indus (Pakistan sekarang) 2000-1000 SM. Mereka nyaris tidak menyisakan warisan sejarah dan peninggalan. Kebanyakan musnah karena penaklukan, perang, dan ekspansi tanah jajahan, juga tak luput karena bencana alam.

Nama ”Khazar” (Khazaria: Arab) berkaitan dengan kata kerja bahasa Turki yang berarti ”mengembara” (gezer dalam bahasa Turki modern). Pada abad ke-7 M mereka mendirikan sebuah Khaganat (nama kerajaan Khazar) yang mandiri di Kaukasus Utara di sepanjang Laut Kaspia. Pada puncak kejayaannya, mereka dan cabang-cabang mereka menguasai sebagian besar dari wilayah Rusia selatan sekarang, Kazakhstan barat, Ukraina timur, dan sebagian besar Kaukasus (termasuk Dagestan, Azerbaijan, dan Georgia), serta daerah Krim. Bangsa Khazar memasuki catatan sejarah ketika mereka memerangi bangsa Arab dan bersekutu dengan Kekaisaran Bizentium pada 627 M (hal 10).

Semesta Religiositas

Menjajaki sejarah Khazar bagai menyelami laut keruh dan bahkan hitam. Kepastian sejarah yang bisa diandalkan belum bisa diyakinkan. Karena itu, hadirnya novel ini menjadi istimewa di tengah kebingungan para sejarawan mencari fakta. Pavic sangat lihai mencampuradukkan sejarah dengan fiksi melalui novel bergenre baru dengan eksperimen-postmodern yang belum dilakukan oleh novelis lain. Cara penyusunan yang unik dan sangat rapi, seperti sebuah ensiklopedia, menjadi keistimewaan yang tinggi dalam novel ini.

Novel ini secara spesifik mengambil fase pergolakan kehidupan Khazar di abad ke-9 M hingga awal abad ke-10 M. Ketika itu terjadi sebuah peristiwa krusial yang menentukan masa depan bangsa Khazar, yang disebut Polemik Khazar. Ini adalah peristiwa perpindahan mereka dari keyakinan asli mereka (tidak diketahui) ke salah satu (juga tidak diketahui) dari tiga agama yang dikenal pada masa lalu maupun sekarang—Yahudi, Islam, atau Kristen. Keruntuhan Imperium Khazar terjadi tak lama setelah perpindahan agama itu. Seorang panglima perang Rusia abad ke-10, Pangeran Svyatoslav, menelan Imperium Khazar layaknya melahap sebuah apel tanpa perlu turun dari kudanya (hal 11).

Polemik Khazar yang melibatkan tiga agama besar di atas menambahkan kecemerlangan novel ini. Kelebihannya karena menyajikan khazanah agama-agama besar di muka bumi yang mempunyai sejarah panjang dalam peradaban kemanusiaan. Semesta religiositas ini sangat menonjol dan dominan di tangan Pavic. Ia mencoba proporsional dalam menyajikan sumber-sumber tentang Khazar dalam perspektif agama Kristen, Islam, dan Yahudi ke dalam tiga jilid, yakni Buku Merah (dengan sudut pandang Kristen), Buku Hijau (dengan sudut pandang Islam), dan Buku Kuning (dengan sudut pandang Yahudi). Masing-masing memberikan penjelasan tentang bangsa Khazar dan polemik yang menyertainya.

Tiga agama di atas dalam studi agama disebut sebagai agama samawi atau agama yang turun dari langit. Mereka telah menunjukkan dirinya sebagai agama yang mempunyai peradaban penting masing- masing. Ketiga agama di atas lahir dari tanah yang sama, yaitu Jerusalem.

Novel ini mencoba menyeimbangkan dan membangun jembatan dialogis tentang Khazar dari sumber ketiga agama di atas. Dengan demikian, tampak sekali harmoni dan sinergi yang hendak dibangun Pavic. Ia tidak menonjolkan satu agama dalam memberikan keterangan tentang bangsa Khazar. Pavic sangat cerdik dengan melakukan kerja serius untuk mengumpulkan narasi-narasi dari ketiga agama secara adil dan bijak. Karena itu, meskipun ini hanya fiksi, semua orang yang paham tentang sejarah pada masa itu akan merasa puas terhadap mahakarya Pavic ini.

Keistimewaan lain, ketika membaca novel ini, kita dibebaskan untuk memulai dari mana saja, sesuai dengan selera, keyakinan, dan kecenderungan latar belakang masing-masing. Dimulai menurut konteks latar agama, dipersilakan, pun dari tokoh-tokoh ketiga agama yang bisa saja ditemukan dalam novel ini. Namanya saja sebuah ensiklopedia dengan subyek yang sama, yaitu Khazar.

Sebuah Gugatan

Hadirnya novel ini mempunyai makna yang kompleks. Ia bukan saja hanya menghadirkan memori kolektif sebuah bangsa, dengan rekam jejak sejarah dan bekas-bekas peninggalannya. Lebih jauh, novel ini sepertinya ingin menggugat ”mayoritas” atau siapa pun bangsa dan negara yang mempunyai kekuatan besar. Mereka yang kemudian menggunakan kekuatan itu untuk menghabiskan sebuah suku, agama, bangsa, ataupun negara ”minoritas”.

Dengan novel ini, Pavic ingin menegaskan diri sebagai duta kaum minoritas, terpinggirkan, dan kalah. Ia memberikan pelajaran penting bagi peradaban manusia masa kini tentang bagaimana harus menyikapi khazanah dan kekayaan yang beraneka ragam mengenai sebuah bangsa dan negara. Meskipun tidak secara tersurat membeberkan semua itu, Pavic tetap saja menunjukkannya dengan konsisten, tekun, dan bersabar, yaitu melalui upaya penelusuran tentang jejak sejarah dan sumber penting yang Bernando J. Sujibto
Dari Nirmala hingga Columbia

Suasana pagi di hari pertama, dari ketinggian lantai 9 Cliff Apartment, salah satu apartemen terkenal untuk mahasiswa asing (international students) di lingkungan University of South Carolina, saya menabur pandang ke hamparan gedung-gedung universitas yang megah dan rapih ditumbuhi pohon-pohon oak, magnolia, crepe myrtle dan dogwood. Maklum jika hari pertama ini serasa dalam mimpi bagi saya sebagai orang kampung yang bahkan tak kenal listrik selama masa kecilnya. Saya membatin, bahwa sebentar lagi saya akan segera merasakan iklim intelektual dan akademik dari sebuah perguruan tinggi negeri yang terkenal di negara bagian selatan (southern) Amerika Serikat, South Carolina। Saya akan menghapuskan semua rasa penasaran tentang Amerika dan orang-orangnya yang terlanjur menggaung nyaring di tanah airku.

Saya sekarang sudah benar-benar menginjakkan kaki di sebuah negeri adidaya yang selalu mengusik sejak saya masih di bangku MTs (sederajat SMP), terutama ketika saya membaca karya sastra orang-orang besar seperti novel Uncle Tom's Cabin karya masterpiece Harriet Beecher Stowe, buku-buku petualangan Mark Twain, hingga cerpen-cerpen terjemahan karya Ernest Hemingway. Program beasiswa IELSP (Indonesian English Language Study Program) dari IIEF (The Indonesian International Education Foundation) untuk belajar bahasa dan budaya (culture programs) selama dua bulan—Juni sampai Juli 2010—ternyata telah mengabulkan mimpi saya ke Amerika.
Pagi menjelang musim panas, tapi sisa-sisa musim semi awal bulan Juni 2010 masih sedikit terasa yang bisa disaksikan melalui rekahan bunga-bunga dogwood yang berjejer sepanjang jalan dan bunga-bunga semak myrtle yang menghampar manis dalam pandangan mata. Kombinasi panas yang mulai menyengat dan indahnya warna bunga membuat saya betah belajar dan bergaul dengan teman-teman internasional di sini. Dari balik kaca jendela di kamar 313, saya menatap rinai cahaya matahari yang merembes ke dinding ungu dari julur daun-daun pohon oak yang tumbuh subur di belakang apartemen. Ingatan saya mengulur mundur jauh ke belakang, di saat-saat mimpi ini baru diucapkan!

***

Pada awalnya adalah mimpi dan imajinasi. Itulah yang saya alami ketika tempo dulu saya tinggal dan belajar di sebuah lembaga pendidikan Islam bernama Pondok Pesantren Annuqayah daerah Nirmala, salah satu pesantren terbesar di Sumenep, Madura. Di lembaga ini saya belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, sekaligus bermimpi banyak tentang masa depan. Mimpi-mimpi itu lahir dari kamar pondokan yang kumuh dan berantakan. Kamar pondok berukuran sekitar 3x2,5 meter terasa sangat sesak. Kamar kecil dan sempit itu harus menampung 4-6 orang santri. Namun meski begitu, saya dan tentu juga teman-teman, sangat menikmati suasana seperti ini—sebagai jalan proses pematangan menuju masa depan yang lebih baik.

Saya belajar di pondok pesantren bersama seorang kakak bernama Hermanto Junaidi, sosok sang inspirator bagi saya. Dia hanya menemani proses belajar saya di pondok selama 2 tahun, dan selebihnya dia harus pulang ke rumah dan bolak-balik rumah sakit karena menderita sakit komplikasi. Akhirnya dia berpulang dengan tenang lebih awal di pertengahan bulan Agustus tahun 2002 setelah didera sakit lama. Sewaktu bersama di pondok, ada satu kalimat yang tidak mungkin saya lupakan dari seorang kakak ini.

“Suatu kelak nanti, namumu juga akan termuat di sini. Dan semua orang akan membaca karyamu.” Dia menunjukkan sebuah puisi di majalah Sahabat Pena, majalah korespondensi milik PT. Pos Indonesia yang beralamat di Bandung waktu itu. Sehari-hari sebagai santri baru saya mengikuti kebiasaan seorang kakak: menulis catatan harian, puisi, dan cerita pendek, di sela-sela mengaji kitab kuning.

Sebagai seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin dengan pendapatan tidak menentu dari ladang sawah petani desa, saya harus “mengencangkan tali sarung” demi mengatur budget yang sangat pas-pasan dan bahkan kurang. Uang Rp. 30.000-40.000 dan segantang beras untuk satu bulan harus saya atur sedemikian hati-hati agar bisa mencukupi dan menyisihkan sebagian untuk menabung. Tak ada kata selain menabung walaupun sedikit untuk membeli buku pelajaran dan menambah koleksi bahan pustaka kesukaan. Saya tidak pernah membayangkan bagaimana bisa merampungkan pendidikan dalam kondisi seperti itu. Antara doa dan ikhtiar harus dipasangkan secara bersamaan dalam hidup seperti itu. Dan semangat ini pula yang telah melecutkan saya menerobos tajam demi masa depan!

Di tengah kondisi seperti itu, kesukaan saya membaca semakin tinggi dan menggila. Perpustakaan daerah hingga perpustakaan pusat di Pesantren Annuqayah menjadi tempat kedua setelah kamar pondok. Koleksi pustaka berupa cerita pendek klasik dan petualangan dari seluruh dunia, ditambah dengan bendelan majalah DeTik, Tempo, dan Forum tahun 70-80an menjadi bacaan favorit saya. Bahan pustaka yang tidak ada di perpustakaan, terutama majalah-majalah terbaru, harus saya beli sendiri dari tabungan. Majalah Sahabat Pena, Annida, dan Majalah Sastra Horison adalah kesukaan saya. Kegilaan membaca karya-karya sastra terus meningkat hingga memaksa saya melakukan segala cara demi mendapatkan buku-buku sastra dan majalah yang tidak tersedia di perpustakaan pesantren.

Demi selembar buku dan majalah, saya mulai keras memutar otak. Waktu itu baru kelas 2 MTs, saya menemui seorang penjual nasi bungkus keliling yang datang ke pondok setiap pagi. Saya menawarkan jasa kepada wanita paruh baya itu agar saya menjualkan nasi bungkusnya ke semua santri. Alhamdulilah, saya diterima menjadi pegawai penjual nasi bungkus dengan kontrak: saya mendapatkan Rp. 100 per bungkus dan mendapatkan bonus satu bungkus nasi gratis setiap hari. Lumayan, setiap hari saya bisa dapat nasi gratis dan menabung uang dari Rp. 1500 hingga 2000. Dari hasil ini, saya pun bisa menabung untuk membeli buku dan majalah kesukaan. Satu per satu buku-buku dan majalah malai menghiasi rak lemari buku. Saya sangat bangga dengan proses ini!

Dari hasil itu saya bisa membeli sebagian buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Seno Gumira Adjidarma, Najib Mahfouz, Anton Chekhov, O. Henry dan Ernest Hemingway. Majalah Sahabat Pena dan Horison pun menjadi menjadi bacaan wajib setiap bulannya.

Di akhir kelar 3 MTs, awal tahun 2001, ada sebuah pengalaman yang terus menusuk dalam ingatan hingga saat ini. Pagi itu hari Kamis saat Ibu datang membawa kiriman beras untuk keperluan saya semasak sehari-hari. Saya melihat Ibu datang dengan perbedaan yang sangat mencolok; sangat menggugah nurani saya sebagai anaknya. Kali ini Ibu membawa kotak kayu berukuran sekitar 50 cm persegi. Ibu memanggulnya sendiri di atas kepalanya dalam kondisi sedang hamil tua, usia sekitar 7 bulan. Deg! Jantung saya seperti terdiam derdetak melihat Ibu datang dari arah barat menuju kamar pondok. Mukanya yang mulai berkurut dalam usia 47, terlihat sangat capai dengan balutan keringat yang deras merembes di mukanya.

Saya langsung sungkem di pangkuannya dengan derai air mata yang tak bisa tertahan lagi. Saya menemukan kehangatan dan cinta terdalam seorang Ibu kepada anaknya, sebuah ketulusan yang tak ternilai demi kesuksesan seorang anak yang tengah berada dalam jenjang pendidikan. Demi itu semua, seorang Ibu mengorbankan semuanya untuk sang anak. Di balik keikhlasan dan kebesaran hati seoarang Ibu, saya semakin mengokohkan keyakinan tentang mimpi-mimpi masa depan yang saya pegang erat demi kesuksesan, kebanggaan dan kebahagiaan Ibu di hari nanti. Saya semakin dewasa dan siap menata hidup meski di tengah keterbatasan dan kesulitan demi kesulitan.

“Ini kotak kayu untuk menyimpan beras dan lauk, biar tidak terkena hujan di dapur,” titah Ibu dengan muka yang masih terlihat kecapaian. “Ini Ayahmu yang bikin semalaman,” tambah Ibu meski tanpa diminta. Ibu membenarkan letak kotak balok kayu seberat sekitar 10 kg itu, sembari mengeluarkan segantang beras dan nasi telor dari dalamnya.

Mata saya bercaka-kaca terbayang sebuah kampung kecil di rumah, juga sosok seorang Ayah tiri yang seperti Ayah saya sendiri. Ayah tiri saya benar-benar mencurahkan kasih sayang seperti Ayah asli yang sudah meninggal waktu saya berusia 8 tahun. Tapi mereka semua sekarang sudah berpulang ke haribaan Ilahi. Dua sosok Ayah yang berjiwa besar dalam hati anak-anaknya.

Saya tidak bisa bergerak banyak selain menatap mukanya dengan sangat dalam karena Ibu begitu paham ihwal kondisi dapur pondok meski belum pernah melihatnya. Ruangan dapur di pondok saya seadanya. Hanya dipagari setengah batu bata dan setengah atasnya dianggitkan anyaman bambu yang jika ada air hujan sudah pasti merembes ke lantai dapur yang beralas tanah. Seperti biasa, saya hanya berdiam diri sembari mendengarkan cerita-cerita tentang suasana kampung teranyar dan petuah-petuah yang keluar dari seorang Ibu. Di saat itu pula, spirit baru terus tumbuh menggelora di dada.

Proses belajar di pondok pun terus berjalan semakin keras bagi saya. Saya pegang kuat-kuat sebuah prinsip bahwa tak ada komproni demi perubahan masa depan saya sendiri. Hampir tak ada waktu tanpa buku, sembari diselengi diskusi kecil yang menjadi kesukaan saya. Di tengah proses seperti itu, aktivitas membaca, diskusi, dan menulis telah menjadi lingkaran hobby yang paling menyenangkan. Tak ayal jika saya kemudian terpanggil pula untuk menulis baik berupa puisi, cerpen, dan esai. Tahun 2001 adalah fase pertama tulisan saya diterima majalah Sastra Horison, dan selanjutnya majalah-majalah seperti Annida, Sahabat Pena, dan Kuntum menyambut baik tulisan-tulisan saya. Dalam kondisi seperti ini, saya semakin yakin bahwa hidup harus diperjuangkan demi kemenangan!

Tak terasa, seperti terbangun dari tidur panjang, waktu enam tahun sudah dilalui dengan kenangan manis dan pahit; sayup dan riang. Saya sudah berada di penghujung waktu di Pondok Pesantren Annuqayah.

“Ibu, setelah dari Nirmala, saya ingin melanjutkan kuliah.”

“Ya terserah kamu, Nak. Tapi Ibu tidak punya apa-apa lagi untuk membantu biayamu.”

“Tidak apa, Ibu. Yang penting diizinin melanjutkan kuliah. Soal biaya biar saya sendiri yang mencari.”

Ibu hanya mengangguk, Dari bola matanya memancarkan seribu keyakinan sembari mengusap ubun-ubun sang anak. Percapakan ini terjadi awal tahun 2004 di sebuah dapur sempit di rumah, saat saya sudah di kelas akhir Madrasah Aliyah. Sambil mengangkat singkong bakar yang sudah matang, sebagai santapan kesukaan kami, Ibu seperti biasa bercerita hal-hal ringan ihwal cocok tanam dan sawah. Sambal petis dan cabe di atas ulekan cobek membuat suasana begitu akrab. Dan semangat pun terus berkobar.

Saya kembali ke pondok pesantren dengan niat yang sudah sangat mantap. Keyakinan kepada masa depan pun semakin terkonsep dengan rapih. Seperti biasa, teman-teman santri yang sudah menjelang kelas akhir di Madrasah Aliyah akan saling bertanya tentang masa petualangan selanjutnya. Melanjutkan kemana setelah ini? Pertanyaan yang pasti terlempar dari satu teman ke teman lainnya. Alasan mereka pun beragam: ada yang langsung pulang, bertani lalu menikah; ada pula yang merantau jauh untuk kerja di kota; ada yang tetap mengabdi di pondok pesantren memperdalam ilmu agama; dan ada pula yang nekat melanjutkan studi ke perguruan tinggi di luar Madura. Saya termasuk yang terakhir: melanjutkan kuliah dengan tekat dan nekat!

Dalam setiap kesempatan diskusi bersama teman-teman santri, saya kerap mengatakan bahwa pertarungan hidup yang sebenarnya itu bukanlah di sini (di pesantren), tapi ada di luar sana, berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan kasar, hidup dengan orientasi materi an sich, kompetisi tiada henti, dan bertahan di tengah kondisi seperti itu adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya. Dengan keyakinan itu pula, saya tancapkan mimpi besar dalam hidup saya, bahwa saya akan memulai petualangan yang sebenarnya, di luar sana, hingga pun ke luar negeri sana. Dan, saya yakin bisa! Saya pun melanjutkan petualangan berikutnya…

“Saya ingin merasakan pengalaman belajar di luar negeri!”

Inilah gumam terakhir sebelum akhirnya saya melangkahkan kaki dari penjara suci Annuqayah Daerah Nirmala. Saya cukup berkeyakinan bahwa bekal bahasa Inggris yang saya pelajari langsung dari seorang guru volunteer dari Australia, Margaret Rolling dan John Rolling, yang datang ke pondok pesantren akan memudahkan saya dalam proses pembelajaran demi petualangan berikutnya. Alhamdulilah, saya diberikan kesempatan menemani banyak waktu mereka berdua selama masih di Annuqayah. Bekal ini pun semakin memantapkan saya menatap masa depan, melangkah menuju petualangan antah berantah.

Yogyakarta menjadi kota dengan kekuatan misteri tersendiri yang telah menyedot arah petualangan saya berikutnya. Kota gudeg itu memang sudah merangsang pikiran sejak saya suka dunia membaca dan menulis di pondok pesantren. Bagi penggila buku, sungguh pembohong jika tidak kenal nama Yogyakarta sebagai rumah penerbit yang seabreg itu! Kota gudeg ini seperti sudah terbayang di depan mata sebagai arena perualangan yang menakjubkan, melanjutkan proses belajar, memperkaya pengalaman, dan menata masa depan hidup yang lebih bermartabat. Jika Anda suka dunia intelektual, datanglah ke Yogyakarta. Dan sakarang saya merasakan itu.

Proses pun dimulai di Yogyakarta sejak awal tahun 2006. Proses hidup yang tak kalah kerasnya, dan bahkan lebih keras dari yang saya bayangkan. Hingga pun tidak makan berhari-hari, jadi pekerja serabutan, penerjemah amatiran, jualan buku, jualan koran, dan jadi pengamen di alun-alun adalah serangkaian realitas hidup yang keras itu. Saya melaluinya dengan tegar, hingga akhirnya bisa kuliah, dan diberikan kesempatan mendapatkan beasiswa belajar bahasa dan budaya ke Amerika. Kesempatan belajar ke negeri Paman Sam menjadi pijakan pertama menatap dunia masa depan yang sungguh beragam dan menakjubkan itu; masa depan seorang anak desa miskin yang kini berada di tengah pusaran peradaban dunia.

***

Ya, ternyata saya bisa menggapai mimpi itu; mimpi yang terasa jauh dan sangat sulit terwujud bagi orang tidak mampu seperti saya; mimpi berpetualang ke antah berantah yang sudah saya lalui hingga ke negara bagian South Carolina, Amerika. Tapi benar, nothing is impossible! Semua akan menjadi mungkin ketika kita meyakininya dan melakukannya dengan tekun, doa, ikhtiar, dan kesabaran yang mendalam. Setelah itu, yakinlah bahwa Allah yang akan menentukan arah hidup kita sesuai dengan ridhaNya.

Sebelum matahari pagi musim panas di Columbia beranjak meninggi, dengan tatapan mata yang terus menabur pandang ke pohon-pohon oak dan crepe myrtle yang tumbuh subur di belakang apartemen, saya terngiang sebuah buku penting yang menjadi tongggak estafet motivasi berjudul Zero to Hero karya Solihin Abu Izzudin. Buku ini ibarat kamus hidup yang terus membangkitkan saya sejak saya membacanya di Yogyakarta pada akhir tahun 2006. Buku ini pula yang telah meyakinkan saya bahwa seorang hero atau somebody pada awalnya adalah zero dan nobody. Ya, buku ini benar-benar menjadi buku hidup dalam diri saya.

Yogyakarta, 02 Desember 2010
Bernando J. Sujibto
Blog, Kopi, dan Ingatan-ingatan

Ibarat awan tebal menunggu hujan. Tentu tak bisa diganggu apalagi dihentikan untuk tidak turun hujan—jika tidak ingin kilat melesat dan membuncah di tengah langit yang gelap seperti itu. Awan adalah kebanggan dan sekaligus cita-cita bagi hujan yang hendak turun untuk bumi. Begitu juga, kiranya, keinginan saya melanjtukan kesukaan sebagai blogger—menuliskan kegelisahan demi kegelisahan, dan pikiran-pikiran yang bahkan berseberangan. Saya seperti hujan itu, saat ini, yang hendak melahirkan dan melejutkan sekian “nafsu” menulis.

Dahulu, saya sempat mengasuh blog demi blog—untuk pikiran-pikiran kecil saya—ada blogspot, multiply, dan wordpress. Tapi kesemuanya menguap begitu saja dan tak terurus. Teman-teman, sebagian, ada yang mengingatkan agar mengurus blog tersebut. Tapi karena beberapa hal, saya lalai mengasuhnya. Dan akhirnya menjadi kenangan!इएस

Saya sering ngeblog di tengah genangan kopi di gelas, atau teh manis yang sabar menemani hingga dingin sekalipun. Karena kopi, atau entah kenapa, seorang penulis kerap kali melanjutkan pengembaraannya, tekun menuliskan pikiran-pikirannya. Dan tak jarang dari mereka menjadi karya besar yang diamini banyak orang. Saya hanya berharap, meski nanti tak ada kopi atau teh, pikiran saya bisa terus lahir dan menuliskannya sendiri—seberat apapun itu!

Sekarang, saya ingin menjaga ruang kecil ini, merawatnya dengan kesabaran dan ketekunan. Kisah-kisah perjalanan dan semua perspektif terhadap apapun yang saya baca akan menjadi bagian dari bunga rampai di sini, menjadi rampai bagi buah pikiran saya sendiri.

Saya tidak ingin sekali tulisan-tulisan saya dipuja hanya karena mentereng dan dipublikasikan di media yang bisa diakses mudah oleh masyarakat umum. Sementara tulisan-tulisan tersebut hanya berumur sekedar, dan bahkan temporal. Habis itu mati tak terlihat juntrungnya. Saya ingin jika suatu nanti, narasi kecil di balik bunga rampai pikiran ini terus lahir dengan sabar dan menuliskan kisahnya sendiri secara tenang dan bersahaja.

Sebagai bagian dari sebuah negeri yang besar, Indonesia, sebagai pemuda yang masih dibangga-banggakan oleh negeri ini, tak akan salah jika saya dan semua kawan-kawan menjadi bagian yang kreatif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran positif bagi bangsa dan negara ke depan.

Akhirnya, di tengah bala bencana yang terus tak henti menerjang Indonesia, saya tetap ingin sekali mengucap bismillah, demi kedamaian negeri saya, dan kekuatan pikiran dan sikap yang dipunyainya ke depan.

Bismillah… mari kita menjadi bagian yang kreatif untuk bangsa dan negara ini…
Bernando J. Sujibt
Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

Suatu bangsa mempunyai sebuah kekuatan besar yang tak gampang dilenyapkan, yaitu ingatan bersama (collective memory). Percaya atau tidak, ingatan akan selalu menjadi titik tolak kesadaran imperatif yang menjadi dasar tindakan dalam dinamika kehidupan suatu bangsa. Secara sosial-antropologis, ingatan bisa dikatakan sebagai hasil metamorfosa tentang gejolak ideologi dalam suatu negara secara umum, atau ia merupakan hasil konsensus masyarakat lokal yang mereka tangkap bersama sebagai buah dari proses sosial kebudayaan. Ingatan bersama menjadi senjata dalam menciptakan gerakan sosial (social movement)—mulai dalam skala kecil hingga bernama revolusi—yang berdasarkan kepada kesadaran etis yang berkembang di suatu masyarakat-negara.

Bisa saja ingatan yang telah tertanam kuat dalam diri suatu bangsa sama sekali tidak mereka sadari secara kritis. Ini adalah ingatan semu yang sangat membahayakan dan mengancam prinsip integritas humanisme. Dari manakah dan bagaimana proses collective memory tersebut bisa mengakar kuat dalam diri masyarakat? Pertanyaan ini muncul begitu saja ketika saya bersinggungan dengan segelintir orang dan bersangkut paut tentang ingatan mereka sebagai hasil kloning dari gejolak sebuah ideologi: antara komunisme dan kapitalisme; antara Amerika dan negara-negara Komunis. Pengalaman itu harus saya ceritakan secara proporsional di sini.


Saya ada kunjungan belajar (study visit) ke sebuah kota bagian selatan Amerika Serikat, yaitu Columbia, sebuah ibu kota di negara bagian South Carolina selama dua bulan. Waktu yang relatif singkat ini, dari Juni sampai Juli 2010, memang bukan waktu yang cukup proporsional untuk belajar banyak hal, apalagi tentang sebuah bangsa dan masyarakat (people) secara komprehensif. Jika bisa dibilang, saya hanya menyisiri bagian terluar aspek kemanusiaan dari sebuah bangsa yang populasinya menduduki terbesar ketiga dunia setelah China dan India itu. Meskipun sebentar, setidaknya saya dihadapkan kepada sebuah realitas yang saya simpulkan sebagai hasil fragmentasi tentang ideologi negara, yang mengendap dalam ingatan bangsa.


Ada sepenggal peristiwa menarik yang tak mudah saya lupakan selama belajar di Columbia, tepatnya di area University of South Carolina. Di suatu pagi awal musim panas, 8 Juli 2010, dan hari kedua saya berada di kota itu, saya bersiap-siap untuk mengurus semua tetek bengek dan perlengkapan fasilitas saya sebagai international student yang barus. Sebuah kaos T-shirt sederhana yang saya beli di salah satu swalayan di Yogyakarta menjadi saksi penting bagi peristiwa hari itu. Kaos berwarna putih dengan gambar foto Che Guevara di bagian depan menjadi pembalut tubuh saya di awal musim panas yang mulai menyengat itu. Saya berjalan kaki di awal-awal saya berada di sana, bersama satu rombongan dari Indonesia berjumlah 20 (sebelum satu orang tiba menyusul dari Indonesia). Berjalan kaki memang mempunyai sisi eksotis tersendiri yang tak gampang dilakoni.

Saya tidak banyak berpikir tentang apa yang akan terjadi nantinya dengan T-Shirt yang saya kenakan itu. Saya memang sudah menahu bahwa Amerika, sebagai negara penganjur ideologi kapitalisme dan pragmatisme, telah bersitegang lama dengan sosok siapa pun baik person ataupun negara yang berhaluan sosialisme-komunis. Komunisme versus kapitalisme telah menuliskan sejarah tersendiri yang teramat merah dalam peta sejarah. Dari serentekan lakon perang ideologi tersebut telah melahirkan Perang Dinging antara Uni Soviet (sekarang Rusia) dan Amerika, dan perang-perang dengan bentuk lain sebagai kamuflase kebencian di antara dua negara dengan idealogi yang besar tersebut. Dan, harus disadari, hingga hari ini pun, perang pertunjukan ideologi melalui kebijakan politik luar negeri (foreign policy) terus dipoles sedemikian cantik dan cerdik agar bisa masuk ke negara-negara khususnya yang sedang berkembang (developing countries). Alasannya hanya satu: demi kemenangan! Ketika kemenangan di tangan, tersebutlah itu si superpower, penguasa, dan negara pertama.

Di hari itu saya harus berhadapan dengan banyak orang penting di lingkungan University of South Carolina, mulai dari placement test, health recheck, hingga masuk ke kantor administrasi kampus untuk mengurus kartu mahasiswa (Carolina Card).

Orang pertama yang saya temui di pagi adalah Russ Harless, seorang Sponsored Students Coordinator, dan Kelly Anastes, seorang Program Assistant. Dua orang ini yang nantinya akan banyak bersinggungan dengan saya dan juga students batch dari Indonesia, dan kepada mereka pula curhat-curhat “sedikit” tentang Amerika biasa saya lontarkan, pelan-pelan saja.

“Do you like him, BJ?” Si Russ langsung menatap sketsa sosok orang yang bersandar dingin di kaos saya. Kelly yang sedang berada di sebelahnya hanya seperti memastikan pertanyaan Russ dengan menganggukkan kepala, lalu mukanya disempatkan menatap sebentar pada sosok Che di kaos saya. Lengkaplah saya seperti seorang pesakitan yang harus menjawab pertanyaan itu. Saya jawab pendek saja, dan pelan: yeah I like him (tapi saya mengoceh dalam hati: I did not really care about that).

Selanjutnya saya datang ke ruangan dokter yang mengurus kesehatan semua mahasiswa internasional di universitas itu. Saya bertemu dengan seorang dokter, umurnya sekitar kepala 5 ke atas, kepala agak botak, dan kaca mata minus agak tebal dan bergagang bening. Sembari mengecek darahku, mulut si dokter meluncurkan kalimat yang sama: do you like him sembari menatap gambar Che Guevara di kaos. Saya mengangguk dan yes. Tatapan dokter itu jelas sekali seperti membuang muka, dan semua urusan check kesehatanku seperti sangat lekas. Kembang senyum yang saya lihat sebelumnya tidak saya temukan lagi. Pak dokter seperti benar-benar menyudahi obrolan dan banyak berpaling! “I need to recheck your blood downstairs” Saya menangkap bahasanya yang rada kabur di telinga (maklum masih baru 1 hari di Paman Sam hehe). Saya ikuti saja perintahnya, ikut turun ke lantai bawah, dan bertemu dengan “penyedot darah”: orangnya hitam, besar, dan seram! Diambillah sampel darahku untuk kedua kalinya, di tangan yang sama pula: tangan kiri! Dalam beberapa menit saja, dua perban bekas jarum suntik membungkus tangan kiri.

Dari sini saya lalu mulai benar-benar curious dan ingin mengetahui tentang mengapa alasan mereka begitu antusias menanyakan sosok di kaosku itu. Tapi saya simpan dulu dan saya melanjutkan urusan berikutnya. Saya bertemu seorang perempuan tua berusia sekitar kepala lima ke atas. Ia mewawancarai saya untuk menentukan kelas (placement test) tingkat berapa untuk kemampuan speaking (and thanks God, I got SL 5). Sebelum apa-apa, ia sudah secara jelas melototi kaosku dan langsung bertanya tentang kesuakaanku kepada sosok Che. Sudah ada empat orang yang menanyakan tentang sosok Che Guevara, dan saya benar-benar ingin tahu alasan lebih lanjut bagaimana mereka melihat dan menilai sosok Che. Memang di hari itu saya merasa menjadi orang ganjil-sendirian dan diplototin banyak mata, atau ditatap secara khusus, yang berpapasan dengan saya.

Begitulah ingatan, ia begitu dalam tertanam di lubuk hati manusia, sebuah ingatan yan diproduksi dan diciptakan lalu secara serius dikampanyekan oleh negara (state) untuk bangsanya. Ia bisa diproduksi melalui media, kebijakan-kebijakan, dan bahkan kampanye verbal di depan khalayak ramai, demi mempertegas tentang musuh-musuh ideologis mereka yang harus diwaspadai. Posisi state dan pemerintah, sebagai agen yang bergerak di dalamnya, mempunyai peran sentral dalam menciptakan kebijakan untuk memupuk ingatan bangsanya karena government, seperti disinyalir Michel Foucault, has a finality of its own (Michel Foucault: 210, 2000). Pemerintah suatu negara bisa secara benar-benar mengubah apapun di dalamnya!

Che Guevara: Sosialisme Komunis

Che Guevara bukanlah sosok asing bagi kita bangsa Indonesia, karena Indonesia mempunyai kesamaan sejarah—pernah mengalami gejolak dan perseteruan hebat antara pemerintah dengan ideologi komunisme. Dan bahkan paham komunisme mempunyai partai sendiri dalam sejarah politik Indonesia, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini menunjukkan bahwa sosialisme tidak asing lagi bagi Tanah Pusaka ini. Ia telah menjadi bagian sejarah penting yang, meskipun hitam, harus diperhatikan sebagai masalalu yang telah ikut andil dalam mendewasakan bangsa ini.

Che lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928. Namun hidupnya sudah ditakdirkan untuk semua bangsa, terutama untuk bangsa dan negara Amerika Latin: Bolivia, Argentina, Kolombia, Chili, Venezuela, Peru, Meksiko, Kuba, dan bahkan pernah ke Indonesia sekitar tahun 1959. Tokoh yang dikenal sebagai prorevolusi yang berhaluan Marxis dengan belajar tekun kepada Lenin dan Mao Ze Dong ini adalah sosok yang tak kenal kompromi dan bahkan sangat tega dalam menindak tegas anak pasukan gerilya yang dipimpinnya. Pengalaman masa kecilnya yang selalu berpapasan dengan para pengungsi perang saudara Spanyol dan serentekan krisis politik di Argentina, ditambah dengan kesadaran proletarianisme yang kuat, membuat sosok Che cepat besar dengan ambisi visi sosialisme-komunismenya. Maka tidak heran jika pemerintah Amerika dan mungkin sebagian rakyatnya benci sekali dengan sosok yang satu ini. Karena, bersama Fidel Castro setelah memimpin Kuba, Che benar-benar merongrong dan “meludahi” kemapanan kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika.

Dewasa ini agak sulit jika menyisir rekam-jejak gerakan sosialisme-komunis. Setiap negara dan aktor yang bemain di dalamnya mempunyai model tersendiri dalam mempraktekkan kitab suci mereka, sebagai rancangan dan abstraksi teoritis, yaitu karya-karya Karl Max bersama Angles (Manifesto Communist), dan terutama Das Kapital-nya Max. Sebagai contoh, komunisme China tentu beda dengan Kuba, atau bahkan dengan Moskow sendiri. Sebagai gerakan kritis dan perlawanan terhadap kemapanan, ruh komunisme atau sosialisme pun mencair dan mengakar ke setiap penganutnya dalam bentuk praksis berbeda dan kemudian membentuk sebuah istilah “ala”, seperti sosialisme ala Tan Malaka di Indonesia. Bentuk-bentuk mazhab baru tersebut akhirnya mendapatkan tempat sebagai haluan paham neo-Marxis.

Sosialisme etis merupakan salah satu contoh yang menarik, yang coba dicarikan bentuk “etis”-nya dari sosialisme dengan merunut jejak teoritik hingga ke kitab teori etika Kant. Sosialisme etis adalah teori yang menegaskan bahwa sosialisme hendaknya dianggap terutama sebagai totalitas prinsip-prinsip dan norma-norma moral dan etis. Neo-Kantinisme merupakan basis teoritisnya. Para pengikut kant (Cohen, P. Tatorp, K. Vorlander dll) berupaya mengawinakn sosialsime ilmiah dengan filsafat moral Kant. Mereka yakin Kant merumuskan gagasan dasar sosialime, gagasan solidaritas (Lorens Bagus: 1032, 2000). Begitulah ideologi memproduksi jaringan-jaringan ideologisnya dengan menyesuaikan kepada zaman dimana dan kapan mereka berada.

Tak ayal jika ideologi sosialisme seperti ini kerap dicekam sebagai sistem utopis dan sebagian besar para pendukungnya adalah para filantropis kelas menengah yang mempunyai komitmen untuk memperbaiki kehidupan para buru (Adam Kuper: 1012, 2000). Ideologi dan utopia akhirnya bersanding menjadi entitas yang sama-sama menyesatkan ketika kita terlalu meyakini secara ektrem perihal ideologi-ideologi yang pernah ada.

Bagaimana pun, sosialisme Che tetaplah sosialisme ala Che yang dia pahami sendiri melalui perseteruan panjang yang bergolak dalam dirinya. Che tetaplah Che dengan segudang keberanian demi rakyat kecil yang menderita khususnya di Argentina. Ia sama sekali tidak terima melihat rakyat kecil di pinggiran Argentina, sisa-sisa suku Indian, yang ia lihat sendiri secara langsung selama melakukan penjelajahan mengelilingi Argentina dengan sebuah motor. Keberaniannya pun harus ditebus dengan kematian ketika pada umurnya yang ke-39 ia ditangkap dan dihukum mati oleh tentara Bolivia. Che tidak pernah minta dituliskan sebagai apa dan siapa; Che hanya tidak terima bahwa ada penderitaan yang membuncah di matanya ketika dia menyaksikan sendiri kematian rakyat Amerika Latin yang menunggu.

Kapitalisme

“Kapitalisme sudah menjadi pilihan ideologi sistem ekonomi di Amerika. Ideologi ini sudah benar-benar merasuk dan tertanam hampir masyarakat Amerika secara umum. Kami berpikir dan fokus bagaimana kami bisa makan, mengumpulkan uang sebanyak mungkin, dan hidup sejahtera bersama keluarga. Makanya kami menjadi sangat pragmatis, dan semua orang dari berbagai bangsa di dunia mengatakan seperti itu. Saya terima itu karena ideologi tersebut telah menjadi pilihan hidup kami,” Russ Harless menumpahkan semua opininya tentang diri dan bangsanya. Ini adalah kesempatan diskusi yang manis bagi saya demi mengorek pengalaman bersama kaos Che Guevara yang saya kenakan sekitar 1 minggu sebelumnya.

Jam menunjukkan pukul 00.10 di Bandara Columbia, di saat kami hangat berdiskusi tentang ideologi politik Amerika. Kami mengobrol sambil menunggu seorang teman yang baru datang dari Indonesia di Bandara Ibu Kota South Carolina. Ada sekitar 30 menit kami mengobrol, dan dialog ini merupakan hasil saripati diskusi saya.

“Jadi pantas sekali jika kami, terutama orang-orang yang seusia saya (usia Russ sekitar 40 tahun ke atas), tidak suka dengan Che Guevara karena bagi saya dia adalah seorang komunis. Komunis adalah musuh saya dan pemerintah saya. Tapi saya tidak yakin bahwa orang-orang apalagi generasi muda seusiamu (saya berusia 24 tahun) mengerti tentang Che. Saya tidak mau pusing-puising berpikir tentang topik ini, yang penting saya bisa makan, dapat uang yang banyak, dan hidup sejahtera.”

Basis teoritis kapitalisme memang sudah eksis sejak dahulu kala, teruatama ketika berakhirnya era markentalisme dan revolusi industri di Inggris abad 16 hingga 18, bisa dirunut melalui buku monumental karya Adam Smith berjudul Wealth of Nations (1776), Dari sini kapitalisme kemudian terus berkembang sesuai dengan zamannya. Paham yang mengedepankan induvidualisme atas kepemilikan modal dan produksi ini berlangsung di mayoritas negara-negara Barat (Eropa dan Amerika) hingga hari ini. Logika sederhana tentang kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang membebaskan siapa saja memiliki produksi dan modal, sebagai kepemilikan pribadi, kemudian memproduksi sebebas-bebasnya menurut/yang dipercayakan kepada mekanisme pasar demi laba dan keuntungan pribadi. Peran pemerintah di sini bungkam dan tidak ada fungsinya apa-apa. Maka jelas sekali jika kaum-kaum borjuis bisa menguasai modal dan pasar, merekalah yang akan menang.

Kapitalisme terus berkembang sesuai dengan keperluan zaman, menurut tahapan-tahapannya, yaitu kaitalisme dagang (merchant capitalism), kapitalisme agrarian (agrarian capitalism), kapitalisme industry (industrial capitalism), dan kapitalisme negara (state capitalism) (Adam Kuper: 92, 200). Tahap-tahap ini menunjukkan betapa seriusnya sistem kapitalsime berkembang hingga pada tahapan terakhir negara menjadi salah satu pengembang sistem kapitalisme yang paling ampuh. Karena dalam negara ada banyak elemen seperti pemerintah, kebijakan, dan rakyat sendiri yang akan menjadi actor-aktor capital. Bagi negara kapitalis, bisa dipastikan rakyatnya akan mengalami proses capitalized-mind atau pikiran yang terkapitalisasikan sehingga ia menjadi falsafah hidup mereka.

Cara kerja kapitalisme, dalam praksisnya seperti dipraktekkan oleh negara kapitalis, adalah pragmatis, dalam artian bahwa semua jalan untuk mendapatkan keuntungan secepatnya bisa dilakukan. Di sini hampir tidak berlaku nilai-nilai etis dan humanis yang bisa diandalkan, karena sikap individualitas dan egoisitas akan menduduki angka pertama dalam urusan mereka. Proses ini juga menjadi andil utama dalam menanamkan ingatan kepada sebuah bangsa. Maka tidak salah jika Russ dengan yakin mengakui tentang pragmatic people yang menjadi cirikhas kebudayaan masyarakat Amerika.

Sampai di sini, saya mengajukan pertanyaan, seberapa hebatkah sebuah ideologi itu merasuk dan memalsukan pikiran masyarakat, meskipun mereka adalah orang-orang terdidik dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran yang tinggi?

Ideologi dan Ingatan

Namun, ideologi ibarat sebuah proyek semu dan palsu. Ia tak lebih sebagai arena untuk menyesatkan kemanusiaan kita karena mereka yang sudah terkungkung dalam lingkaran ideologi akan selalu berhadapan dengan sikap eksklusivitas dan bahkan ektrem terhadap realitas dan fakta-fakta ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan sederetan fakta ilmiah tidak masuk dalam lingkaran ideologis. Mereka menggembalakan subjektivitas dalam lingkarannya.

Sebagai contoh, bagi para penganut kapitalisme, sosialisme dicap sebagai sesuatu yang utopis dan mustahil karena sistem sosialisme tidak didasarkan kepada kenyataan empiris, selain hanya didasarkan pada harapan-harapan. Sistem sosialisme tidak didasarkan pada tesis bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang serakah terhadap kekayaan material. Namun begitu, sosialisme mempunyai harapan-harapan besar tentang nilai-nilai kebersamaan yang didasarkan kepada kerja untuk orang lain di bawah sistem yang tidak dimiliki. Meskipun kerap dikecam sebagai utopia, namun Karl Max dan Angles melakukan upaya sistematisasi demi terwujudnya harapan sistem sosialisme ini (Axel van Den Berg: 45, 1988).

Dalam pengertian populernya, ideologi diartikan sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran. Merujuk pada The World Book Encyclopedia seperti dikutip Arief Budiman dalam pengantar buku Ideologi dan Utopia karya Karl Mannheim, ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaan. Orang yang menerima sebuah sistem pikiran tertentu ini cenderung menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang sama. Untuk orang-orang ini, banyak kesimpulan yang didasarkan pada ideologi mereka yang dianggap sebagai logis dan benar. Larena itu, orang secara kuat menganut sebauh ideology tertentu mengalami kesukaran untuk mengerti dan berhubungan dengan pengenut ideologi lain (Kalr Mannheim: xvii, 1991).

Dua ideologi besar yang saya perbincangkan di atas hendak menunjukkan bagaimana pengaruh dan kerja ideologi terhadap people dalam sebuah negara. Pengalaman yang saya tulis di atas adalah bukti bagaimana ingatan sebuah bangsa tidak bisa dilepaskan dari (ideologi) masalalunya. Dan Amerika, sebagai negara yang sudah terang-terangan mendeklerasikan dirinya sebagai negara kapitalisme, telah menanmkan kebencian personal kepada ideologi yang menjadi tandingannya, yaitu sosialisme. Entah kenapa ingatan tentang lingkaran ideologis yang subjektif itu masih saja terus memroduksi ingatan-ingatan bersama bagis sebuah bangsa. Ini menunjukkan, satu sisi, bahwa peran negara dalam menggirim dan mencipatakan ingatan bangsanya sangatlah dominan dan, di sisi lain, justru menjadi pertanyaan saya: mengapa bangsa yang sudah mempunya kesadaran sejarah ilmu pengetahuan masih terjebak dalam hantu ideologis yang negara ciptakan?

Untuk menancapkan ingatan kepada suatu bangsa, sebuah ideologi dan agen-agennya melakukan cara-cara ekstrem tersendiri demi kemenangan. Mansour Fakih dalam pengantar buku Menapak Jalan Revolusi-nya Muammar Qathafi secara jelas menyebutkan bahwa dua-duanya baik kapitalisme maupun komunisme mempunyai Perang Dingin hanya menjadi istilah bagi perang ideologi antara blok kapitalisme Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan blok sosialis yang dipimpin Uni Soviet (Rusia) yang sama-sama ingin menanamkan pengaruh mereka di negara-negara Selatan yang baru merdeka. Perang Dingin adalah untuk memperebutkan hegemoni ke negara-negara yang dikenal sebagai dunia ketiga ataupun dunia selatan tresebut.
Sebagai sebuah contoh dalam kondisi seperti ini, saya jadi ingat bagaimana masyarakat Indonesia memandang komunis. Di Jawa khususnya, ketika orang tua saya mendengat kata komunis, mereka sudah pasti berang dan tidak suka. Dan ternyata ingatan kolektif bangsa Indonesia terhadap kaum komunis masih sangat buram. Jelas, semua itu hasil doktrinasi pemerintah selama Orde Baru berkuasa.

Penutup

Di situlah peran ideologi. Ia sangat sentral dalam menciptakan pengaruh dan ingatan kolektif kepada bangsanya. Kebencian-kebencian sebagai hasil produksi ideologis terhadap sosok dan negara yang menjadi musuhnya terus akan berkembang semasih ada segragasi yang diciptakan negara terhadap lawan ideologisnya. Jika Amerika masih ngotot untuk memaksakan sistem kapitalisme, sementara di pihak musuhnya (bekas-bekas negara sosialis) terus menandinginya dengan berbagai cara untuk saling merebut “kemenangan”, pada saat inilah kebencian dari kepalsuan ideologis itu terus menjamur.

Columbia, Juli- Jogja, Oktober 2010

Versi cetak dari tulisan ini ada di buku : Karya Unggulan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Islam: National Character Building dan Etika Global (2010).
Bernando J. Sujibto